Tuesday, April 26, 2016

Belajar Berhitung dari Permainan Tradisional “Terang”



          Wajah ceria murid kelas 1 SDK Nataweru menyambut staf Wahana Visi Indonesia Kantor Operasional Sikka dan pengawas sekolah yang akan melakukan observasi kelas sebagai rangkaian kegiatan Pelatihan Pengawas dan Kepala Sekolah. Pelatihan ini sebagai bagian dari replikasi Pendidikan Karakter Kontekstual dengan Spirit Kulababong di Kabupaten Sikka-Nusa Tenggara Timur. Perwujudan dari Pendidikan Karakter Kontekstual dengan Spirit Kulababong adalah belajar dengan menggunakan permainan tradisional, lagu daerah, bahasa daerah, serta alat dan bahan disekitar rumah dan sekolah yang tidak hanya mengajarkan anak mengenai pelajaran sekolah tapi juga menumbuhkan nilai-nilai karakter pada anak.
            Hari itu, murid kelas 1 sedang belajar berhitung. Mereka tidak hanya belajar di dalam kelas tapi juga di luar kelas dengan menggunakan permainan tradisional. Permainan tradisional itu adalah Permainan Terang. Permainan yang cara mainnya mirip Bowling ini membantu anak-anak kelas 1 SD untuk belajar berhitung. Permainan Terang terbuat dari tempurung kelapa (sebagai dudukan bambu), bambu yang dibelah 2 dan biji mente atau bisa diganti dengan biji kemiri. Pada awalnya, anak-anak akan menyusun biji-biji didalam bambu hingga penuh kemudian menghitung jumlah biji tersebut. Anak-anak lalu bergantian melempar bambu dengan menggunakan batu. Awalnya mereka berebut untuk melempar namun ditertibkan oleh Bapak Guru. Jika batu mengenai bambu dan ada biji yang keluar dari bambu maka anak-anak menghitungnya. Jumlah biji yang dihitung diawal permainan lalu dikurangi dengan biji yang jatuh ketika dilempar tadi. Dari sini anak-anak kelas 1 SD belajar pengurangan. Permainan ini bisa juga dimodifikasi agar anak belajar penjumlahan.


            Selain belajar berhitung, ada beberapa nilai karakter yang dipelajari. Anak belajar toleransi (menghormati giliran teman yang melempar), tanggungjawab (membereskan alat dan bahan seusai pelarajan), kritis, teliti, komunikasi yang baik dll.  Toleransi dan tanggungjawab adalah nilai-nilai karakter dari spirit kulababong yang berkaitan dengan semua kegiatan sehari-hari. Belajar tidak hanya didalam kelas tapi juga diluar kelas. Ini membuat belajar menjadi semakin menyenangkan dan tidak membosankan. Terbukti dengan anak-anak kelas 1 SDK Nataweru yang belajar sambil bermain permainan tradisional dengan penuh semangat.


*Penulis: Esti Renatalia Tanaem, Monitoring, Evaluation and Learning Coordinator ADP Sikka

Bekal Pelatihan Berbuah Mandiri

          


            Pengetahuan baru akan semakin nyata ketika melihat kemandirian pelayan kesehatan dalam melayani masyarakat. Pembelakan melalui pelatihan telah menjadi modal yang kuat. Hal inilah yang dirasakan oleh Maria Emilia Soka, Bidan Desa Sikka setelah mengikuti pelatihan SDIDTK dan PMBA. Dengan  kapasitas  dan pengalaman yang dimilikinya,  pendekatan dan konseling dilakukan secara terus menerus, apalagi didukung oleh beberapa kader yang terlatih. Merasa  bahwa hal ini adalah tugas dan tanggung jawab yang harus tuntas,  Ibu Ermin, begitu beliau biasa disapa , harus meluangkan banyak waktu untuk bersosialisasi dengan para ibu demi anak –anak desa yang  masih membutuhkan perhatian.
Ibu Ermin tak segan untuk berbagi pengalaman dengan para kadernya karena seorang bidan tak mungkin berjalan sendiri  tanpa kader. “ Saya sangat senang dan bangga sebagai bidan desa dampingan mendapat perhatian melalui beberapa pendekatan yang dilakukan Wahana Visi Indonesia. Hal ini  saya jalankan lewat pengalaman  dan pelatihan baik bersama teman-teman bidan maupun para kader.”, papar perempuan paruh baya ini.


Kegiatan yang dijalankannya bukan hanya pemberian makan bagi bayi dan anak  saja, namun  yang menjadi jadwal utamanya  setiap bulan  bersama kader adalah memberikan peran pengganti bagi kader dalam melakukan sosialisasi serta peran lainnya sesuai potensi masing-masing kader. Upaya ini dimaksud agar para kader lebih mandiri dalam tugas dan pelayanan mereka. “ Saya melihat mereka sudah mandiri  sekali untuk melakukan tugas dan fungsi mereka  tanpa bantuan, apalagi selalu diberi pelatihan dan dibekali dengan alat dan bahan sederhana untuk mereka. Sekarang tugas saya hanya memantau dan mengevaluasi.”, ujarnya bangga.  
Pelatihan bagi para bidan dan kader telah membuahkan hasil dalam mempersiapkan tenaga Posyandu yang handal. Kader telah menjadi pilar utama  yang sudah melanjutkan apa yang  menjadi cita-cita bersama. Tentunya bukan  sampai disini saja, namun masih banyak hal yang ingin dilakukan  bagi ibu dua anak ini  dalam mengemban tugas sebagai bidan. Ia juga bertekad untuk meningkatkan  kelangsungan hidup anak dimana tempat ia bertugas. Masa depan  anak-anak akan  lebih bersinar dari  buah pelatihan karena yang diharapkan mulai tumbuh dan mandiri.


*Penulis: Emanuel Laba, Fasilitator Pengembangan ADP sikka

Jaga Diri Megu Ami



Anak adalah Tunas, Potensi dan Generasi Penerus cita-cita perjuangan bangsa. Mereka memiliki peran strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan untuk itu keberadaan anak dari waktu kewaktu perlu dilindungi, didengar dan disayangi. Kelak, anak diharapakan mampu memikul tanggung jawab, maka mereka perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan dukungan dalam pemenuhan kebutuhan akan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
            Sadar akan pemenuhan Kebutuhan hak anak dalam partisipasi, kreatifitas dan aksi maka Pemerintah Desa Hepang menjamin pelaksanaannya dalam Wadah Forum Anak Hepang melalui keputusan Kepala Desa Hepang Nomor 13 Tahun 2015. Lahirnya forum anak Hepang merupakan wuju dari ungkapan anak-anak Desa Hepang yaitu “Jaga Diri Megu ami“. Untuk itu Pemerintah Desa Hepang berkoordinasi dengan WVI ADP Sikka dan BPPKB bergandengan tangan telah memfasilitasi anak-anak untuk membentuk Forum Anak Hepang (FOAH) sebagai sebuah wadah organisasi pembinaan anak di tingkat desa.


Tidak hanya berhenti di situ, FOAH pun menggeliat dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat sesuai dengan usia mereka terdiri dari latihan kepemimpinan, manajemen organisasi, Sosialisasi tentang Hak Anak (KHA dan UUPA), melakukan penggalian isu anak dan sosialisasi  ke dusun-dusun dalam wilayah Desa Hepang guna mengumpulkan data terkait pemenuhan hak anak . Mengakhiri rangkaian kegiatan, mereka melakukan evaluasi dan refeksi kegiatan di Gua Betlehem dan juga sudah menyusun Program Forum Anak selama Satu Tahun Kedepan. Kegiatan ini mendapat dukungan Positif dari Pj. Kepala Desa  Hepang, Bapak Paulus Visilia, SE.
Ketua Forum Anak Hepang, Julvin, mengajak teman-temannya untuk aktif dalam kegiatan FOAH. “Demi kemajuan FOAH kedepan perlu kerjasama dan dukungan dari teman-teman semua semuanya kalau diundang untuk pertemuaan kita harus hadir jangan hanya orang-orang tertentu saja. Sekali lagi saya harap dukungan dari teman-teman semuanya.”, ujar gadis berambut panjang ini.

Semoga dukungan dari pemerintah desa dan masyarakat pun terus mengalir, seperti yang diharapkan Julvin. Mari berlomba untuk menciptakan wadah kreatif bagi anak-anak di desa.

*Penulis: Andreas Akiles, Fasilitator Pengembangan ADP Sikka

Anak, Sekolah dan Kue Adat 'Bolo Pagar'

Apa yang bisa dipelajari dari sebuah kue? Ya, untuk beberapa tahun yang lalu mungkin tidak ada yang bisa menyangka bahwa sebuah kue bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Model pendidikan kreatif inilah yang coba diterapkan oleh guru-guru di SDK Du, sebuah sekolah kecil yang terletak di Kecamatan Lela.
Buah kerjasama antara WVI dan Dinas PPO Kabupaten Sikka sudah mulai terlihat. Guru-guru tidak lagi mengajar hanya dengan membaca buku dan hanya di dalam kelas. Saat ini mereka lebih kreatif, mampu melihat benda di alam sekitar dan menariknya menjadi sebuah pembelajaran menarik di kelas. “ Saya sangat senang dengan pendidikan karakter yang diterapkan WVI dan Dinas PPO, ini sangat unik karena sangat menyentuh sekali dengan konteks lokal yang ada, bahkan bisa memperkaya model pembelajaran bagi para guru.” kata Ibu Maria, seorang guru di SDK Du.



Melalui pembelajaran ini, anak-anak mulai di biasakan untuk mencintai alam sekitar mereka karena alam adalah kelas mereka dan sekaligus ruang bermain mereka. Seperti yang saat ini dilakukan oleh Ibu Maria dan anak muridnya, mereka akan belajar tentang konsep bangun ruang dengan membuat kue adat Bolo Pagar. Bolo Pagar adalah sebuah kue adat Sikka yang biasa ada dalam rangkaian perkawinan. Kue Polo Pagar akan disajikan oleh keluarga perempuan saat keluarga laki-laki meminang anak perempuannya. Maknanya adalah layaknya pagar, calon pengantin laki-laki dan keluarga harus menjaga dan melindungi calon pengantin perempuan. Semakin banyak rekatan atau bentuk yang saling silang akan membuat “pagar” semakin kuat, artinya bila keluarga dan banyak pihak turut mendukung perkawinan ini, maka perkawinan akan sejahtera dan langgeng. Warna-warni dalam kue ini juga memaknakan suka duka yang akan mewarnai sebuah perkawinan.
Selain mengerti tentang bangun ruang, mereka pun belajar tentang makna dari Bolo Pagar ini. Sungguh indah ketika sejak dini anak “didekatkan” dengan budaya dan diajarkan untuk mencintainya.

Hal inilah yang diharapkan oleh semua pihak, karena  menjadi pintar bukan hanya  membaca  dan belajar dalam kelas, namun  pengetahuan  dari alam sekitar  dan konteks setempat  akan memberikan pendidikan yang jauh lebih kaya untuk dikembangkan. Dengan menerapkan pendidikan kontekstual, keunikan yang mulai pudar dan hilang  dapat digali  kembali dan dikembangkan untuk menunjang potensi, kemampuan serta keterampilan yang berpuncak pada karakter anak. Inilah yang bisa dipelajari anak-anak SDK Du melalui kue adat. Mengesankan!



*Penulis: Emanuel Laba (Fasilitator Pengembangan ADP Sikka) dan Herning Tyas Ekaristi (Community Development Coordinator ADP Sikka)

STOP Pelecehan Seksual Pada Anak!!

“Dia yang dulunya ceria, suka tertawa sekarang jadi sering melamun dan mendadak gemetar serta ketakutan bila ada orang dewasa laki-laki yang menegur dia.”, ujar Afrida, Ibu dari Rara (5 tahun, bukan nama sebenarnya) seraya memandang putri kecil satu-satunya itu.

Pedih dan sakit masih dirasakan oleh Rara dan kedua orangtuanya. Hari Valentine, 14 Februari 2015, yang harusnya menjadi Hari kasih sayang bagi Rara malah menjadi hari yang mendukakan hatinya, menjadi hari yang mungkin tidak akan ia lupakan sepanjang hidupnya. Rara mendapat pelecehan seksual oleh Joni (50 tahun, bukan nama sebenarnya). Ironisnya, Joni bukanlah orang asing bagi Rara dan keluarganya. Ia cukup sering berkunjung ke rumah Rara untuk sekedar plewo pla’a bibo babong (silaturahmi, dalam bahasa Sikka).

Pasca kejadian, dibantu oleh staf WVI yaitu fasilitator desa, bersama perwakilan masyarakat Desa Wogalirit, Rara segera dirujuk ke Puskesmas dan melapor ke Polsek terdekat. Pihak berwenang pun segera melanjutkan kasus ini ke Polres Sikka sehingga proses hukum dari kasus ini cukup ditindaklanjuti dengan cepat. Pihak pengadilan memutuskan sidang pertama akan digelar pada tanggal 6 Mei 2015.

Sebelum hari persidangan, Rara dan keluarganya didampingi staf WVI dan TRUK-F (Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores) melakukan persiapan mental dan brifing tentang jalannya persidangan. Ini dilakukan supaya Rara dan keluarga siap dan berani dalam memberikan kesaksian dalam sidang pertama kasus ini yaitu untuk mendengar kesaksian korban dan saksi pendukung.

Tidak hanya berhenti di situ, melihat perubahan sikap Rara, orangtua setuju akan dilakukan terapi psikologis oleh Psikolog Maria Nona Nancy dari UNIPA. “Dengan senang hati saya akan datang dan bermain-main dengan adik Rara sembari melakukan terapi pemulihan untuk kondisi psikologisnya.”, ujar Maria Nona Nancy, Psikolog yang juga mengajar di Universitas Nusa Nipa Maumere.


Kisah Rara menjadi potret buram permasalahan anak-anak saat ini. Kisah Rara menjadi reminder bagi kita--orang dewasa--untuk lebih peka dan menindaklanjuti isu ini dengan serius. Kisah Rara menjadi semangat bagi kita untuk memandang pelayanan di organisasi ini adalah sebagai panggilan Tuhan. Selamat melayani.


*Penulis: Herning Tyas Ekaristi, CDC ADP Sikka

Etus, Potret Buram Kondisi Anak Sikka

“Tus..Tus..Tus…ayo lihat mama sini.”, Ujar mamanya semangat sambil menjentik-jentikkan jarinya supaya Etus mau mengangkat kepalanya dan melihat ke arah jari mamanya saat Etus melakukan fisioterapi di RSUD TC. Hillers, Maumere.

Petrus Paskalis Mbale, anak berusia 5 tahun 3 bulan yang menderita gizi buruk disertai penyakit bawaan yaitu ada cairan dalam paru-parunya. “Ketika lahir, beratnya 3.1 kg. Tapi ketika berumur 4 bulan, Etus mengalami kejang. Sejak saat itu, tiap kali timbang berat badannya tidak pernah naik, tapi ibu bidan dan kader tidak pernah memberitahu saya apa yang harus saya lakukan dengan anak saya ini. Saya juga pernah ke dokter spesialis anak, tapi tidak ada saran yang baik untuk anak saya”, ujar Mama Etus, sedih.

Kondisi tumbuh kembang Etus sangat memprihatinkan. Badannya lemas, hanya bisa berbaring, jari tangan lebih banyak menggenggam, kaki terasa kaku untuk ditekuk atau digerakkan, tidak bisa mengangkat kepala, mata lambat merespon apa yang dilihat, ekspresi wajah nyaris tidak ada, dan air liur sering keluar.

Hingga pada bulan Mei, ketika seorang staf melakukan rekrut di tempat Etus tinggal, Etus direkrut dan sejak saat itu ada tindak lanjut untuk kondisi Etus.  Awalnya, berat badan Etus hanya 6,4 kg pada awal terapi di bulan Juni 2015. Namun, dengan kegigihan Mama Etus untuk membawa anaknya terapi setiap hari dan melatihnya lagi di rumah, maka ada kenaikan berat badan hingga 8,5 kg pada pertengahan Juli 2015. Setelah melakukan terapi selama 2 bulan, Etus cukup banyak menunjukkan perkembangan. Jari tangannya sudah sering terbuka, kaki sudah lebih lentur untuk digerakkan, sudah bisa mengangkat kepala ketika sedang telungkup, sudah bisa merespon dengan tatapan mata dan senyuman, serta air liur jarang keluar.


“Saya bersyukur bertemu dengan Om Morde (staf WVI) saat itu. Kalau tidak, berarti kondisi Etus tidak akan pernah berubah sebaik ini. Saya merasa senang melihat kondisi Etus sekarang. Terima kasih karena sudah membantu kami”, katanya Mama Etus, terharu.


*Penulis: Herning Tyas Ekaristi, CDC ADP Sikka

Mau Hebat, Butuh Besar. Mau Menjadi Hebat, Butuh Semangat yang Besar.

Itulah kata-kata penyemangat yang sempat diucapkan Camat Kecamatan Doreng, Bapak Kasianus Kei, dalam sambutannya membuka kegiatan Pelatihan Dasar Kepemimpinan Anak Se-Kecamatan Doreng pada tanggal 22-25 Juni 2015 yang bertempat di Wisma Nasareth Nelle. Kegiatan ini dihadiri oleh 74 anak perwakilan dari Forum Anak dari Desa Wolomotong, Kloangpopot, Wolonterang, Wogalirit dan Waihawa.

Dalam rangkaian kegiatan ini, ada materi-materi tentang Hak Anak, Pentingnya Berorganisasi yang dibawakan oleh Arnold Nurak, Pendamping Forum Anak Sikka. Selain itu, dari civitas akademika Universitas Nusa Nipa Prodi Psikologi juga memberikan pencerahan kepada anak-anak ini tentang psikologi remaja, kesehatan reproduksi dan seksual.

Pemerintah kecamatan sangat mendukung kegiatan pemberdayaan untuk anak-anak. Buktinya, sudah ada beberapa desa di wilayahnya yang sudah melibatkan forum anak dalam Musrenbangdes, begitu pula pihak kecamatan sudah melibatkan perwakilan anak dalam Musrenbang tingkat kecamatan. Bapak Kasianus Kei mengatakan bahwa anak adalah tanggungjawab keluarga, sekolah, termasuk pemerintah. ”Kita semua memiliki peran dalam mendidik anak, namun keluarga adalah sekolah utama dan pertama bagi seorang anak. Keluarga adalah penentu keberhasilan anak. Dalam keluarga, anak membutuhkan rasa aman dan dilindungi. Oleh karena itu, kita sebagai lingkup yang lebih luas juga harus mendukung hal itu.”, ujar Bapak Kasianus Kei.


Ibarat pisau harus diasah supaya semakin tajam. Anak-anak pun harus diberi bekal pengetahuan supaya ia mampu berbicara dan mampu mengambil keputusan untuk hal yang terkait hidup dan masa depannya.

*Penulis: Herning Tyas Ekaristi, CDC ADP Sikka

Wednesday, April 6, 2016

Libatkan Anak Dalam Musrenbangdes!

 Yang muda dipandang sebelah mata. Itu slogan yang sering kita dengar. Anak-anak seringkali dianggap remeh dan tidak mampu berbuat apa-apa. Namun yang terjadi di desa Wolomotong ini, akan membuka mata kita bahwa anak mampu bersuara dan orang dewasa mulai belajar mendengarkan mereka.

Dalam Musrenbangdes tahun 2015 ini, Desa Wolomotong sudah belajar menyediakan ruang bagi anak untuk bersuara dan tidak hanya itu, segala pendapat anak dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

”Kami melihat masih ada beberapa teman-teman di sekolah dan beberapa adik-adik kami yang belum memiliki akta lahir. Akta kelahiran adalah bukti bahwa kita tercatat sebagai warga negara Indonesia. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memfasilitasi pembuatan akta lahir bagi warga negaranya. Oleh karena, itu, bapa desa, saya mohon bisa membantu memfasilitasi pembuatan akta lahir ini.”, ujar Yeri (12 tahun), salah satu perwakilan anak yang menyampaikan masalah dalam Musrenbang itu.

Sebelum pertemuan ini, forum anak desa Wolomotong sudah beberapa kali mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan itu, bersama pendamping, mereka melakukan penggalian isu dan masalah melalui peta komunitas. Dalam peta itu, mereka menggambar tempat-tempat umum, contohnya: sekolah, polindes, rumah, kantor desa, gereja, dan lain-lain. Lalu dari masing-masing tempat tersebut, digali lagi kira-kira apa yang disuka dan yang tidak sukai. Contohnya: sekolah. Yang disukai: bisa belajar, bertemu teman. Yang tidak disukai: tidak ada perpustakaan dan buku tidak lengkap, guru kadang memukul dan memarahi anak-anak.

Berdasarkan kesepakatan forum Musrenbang itu, Kepala Desa akan mengalokasikan 4 juta dari ADD untuk pembuatan akta kelahiran. ”Jujur, saya sempat gugup menghadapi pertanyaan dan usulan dari adik-adik itu. Tapi di sisi lain, saya tidak akan takut lagi akan masa depan desa saya karena desa saya memiliki anak-anak yang hebat.”, ujar Kepala Desa Wolomotong dengan bangga, saat ditemui di lain kesempatan.


Belajar Menjadi Orang Sukses Dengan Membaca

“Maumere.. kalau masih ingat e Jangan lupa Maumere manis e
Maumere dengan pulau pulaunya Nyiur lambe Maumere manis ne”

Itulah sepenggal lagu daerah khas Sikka, Maumere Manise. Lagu rancak inilah yang membuka kegiatan Lokakarya Anak tingkat kabupaten Sikka. Lagu ini dibawakan oleh sekelompok anak SDI Aiwuat, desa Wolomotong.

Kegiatan yang dimulai sejak tanggal 16 Juni 2015 – 18 Juni 2015 itu diikuti oleh 79 perwakilan anak dari 21 kecamatan se-Kabupaten Sikka, anak-anak remaja masjid, anak-anak yang tinggal dalam pengasuhan alternatif. Selaras dengan tema HAN tahun ini yaitu Aksi Membaca Anak Sikka 2015,  Bapak Wakil Bupati Sikka, Bpk. Paolus Nong Susar dalam sambutannya, memotivasi anak-anak supaya lebih sering membaca buku-buku, contohnya buku biografi tokoh. “Dengan membaca buku, kita bisa meneladani profil orang sukses, kita bisa belajar cara hidupnya.”, ujar beliau.

Berkaitan dengan itu, Felixia (15 tahun, pelajar) sempat mengajukan pertanyaan tentang keterbatasan fasilitas perpustakaan yang hanya ada satu di pusat kota, kurangnya jumlah mobil perpustakaan keliling dan belum meratanya sekolah-sekolah yang pernah dikunjungi. Minimnya fasilitas membuat anak-anak tidak bisa mengembangkan bakat dan minat mereka. Bapak Paolus Nong Susar berjanji akan menindaklanjuti ini dengan bagian perpustakaan Kabupaten Sikka.

Upaya pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan anak ini dipandang menjadi titik cerah bagi pintu partisipasi anak dalam pembangunan. Orang dewasa yang mau mendengar suara anak, itu yang anak Sikka butuhkan.




FAS, Wadah Anak Sikka bersuara dan berpartisipasi

“Visi Forum Anak Sikka adalah anak Sikka bersuara dan berpartisipasi.”, ujar Stefin (pelajar, 15 tahun), Ketua Forum Anak Sikka (FAS) periode 2013-2015, dalam sambutannya sebelum ia mengakhiri masa jabatannya. FAS sudah berdiri sejak tahun 2004 dan masih eksis hingga saat ini. FAS sudah mendapat dukungan dari pemerintah dengan SK dari Bupati tentang keberadaan dan kepengurusannya.

Selama ini, FAS berada di bawah naungan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) dan didukung oleh berbagai LSM yang ada di Kabupaten Sikka seperti Wahana Visi Indonesia (WVI), Plan Internasional, Childfund dan SOS Villages.

Sudah banyak kegiatan yang FAS lakukan, seperti :sosialisasi tentang hak anak ke beberapa desa atau kelompok anak juga melalui siaran radio yaitu FAS FM, bersama LSM dan BPPKB menginisisasi pembentukan Forum Anak Desa, berbagi kasih terhadap anak-anak korban bencana alam letusan Gunung Rokatenda. Pada tahun 2013, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sempat memberikan penghargaan kepada FAS sebagai forum anak yang menyuarakan hak anak melalui media radio.


Sebelum mengakhiri pidatonya, Stefin hanya memohon kepada kepengurusan FAS yang baru supaya tetap kompak dan saling mendengarkan satu sama lain karena dengan dua hal itu lah, FAS masih ada hingga saat ini. “Kita harus bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak lain yang ada di Kabupaten Sikka ini.”, tambah Stefin. Semoga!


*Penulis: Herning Tyas Ekaristi, Community Development Coordinator

Semangat Claudia untuk Anak-anak Sikka

Tanggal 16-18 Juni 2015 menjadi sebuah pengalaman baru dan sangat berharga bagi Claudia, salah satu remaja dari Desa Lusitada yang mewakili Kecamatan Nita untuk mengikuti Lokakarya Anak tingkat Kabupaten Sikka dalam rangka Hari Anak Nasional. Tahun ini, Sikka menjadi tuan rumah untuk Konferensi Daerah (Konferda) Anak tingkat Propinsi yang nantinya akan diadakan pada bulan Juli.

Dalam Lokakarya tersebut, Claudia bertemu dengan teman-teman barunya dari 20 kecamatan yang lain dan anak-anak dari pengasuhan alternatif SOS. “Awalnya saya piker kegiatan ini biasa saja, karena baru pertama kali mengikutinya, namun ternyata kegiatan ini sangat menyenangkan. Kami berteman, tertawa, menyanyi, berdebat dan saling mendukung satu sama lain.” Ujar Claudia, bahagia.

Dalam kegiatan itu, mereka sempat beraudiensi dengan Bapak Wakil Bupati Sikka, Paolus Nong Susar. Selain itu, ada juga meteri tentang Kabupaten Layak Anak dari Kepala BPPKB Sikka, Dr. Deli Pasande dan materi tentang Partisipasi Anak dalam Pembangunan dari Bappeda Sikka.


“Dengan kegiatan ini, saya termotivasi untuk berbuat yang lebih baik lagi, apalagi sekarang saya terpilih menjadi Wakil Ketua FAS kepengurusan yang baru. Bersama teman-teman, kami akan terus menyuarakan hak anak di desa-desa yang jauh dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang kreatif.”, tandas Claudia.


*Penulis: Herning Tyas Ekaristi, Community Development Coordinator